Remaja dan Masalah Kesehatan Reproduksi
Pengertian
Masa remaja sering
dipahami sebagai suatu masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang
ditandai dengan adanya perubahan secara fisik dan kematangan biologis atau
seksual, perubahan secara psikologis yaitu dengan adanya proses pembentukan
diri dan secara sosial yang ditandai dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan
masyarakat. White dan Speisman (1987) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa
transisi antara masa kanak dan masa dewasa dimana seseorang dihadapkan pada
sekumpulan peran dan dan harapan yang tidak sejalan dengan peran dan harapan di
masa lalu. Sedangkan Medinnus dan Johnson (1976) menyatakan bahwa remaja
merupakan suatu periode dalam perkembangan individu yang ditandai oleh adanya
tanda-tanda kematangan seksual. Kematangan ini mulai terjadi pada perkembangan
fisik dan sosial serta berakhir pada saat seseorang telah mengambil peran-peran
dewasa dan diterima dalam banyak hal
sebagai orang dewasa oleh reference group-nya, yaitu orang-orang kepada siapa
individu menujukan/mengharapkan tingkah lakunya untuk diterima. Pikunas (1986)
mengatakan bahwa masa remaja adalah masa pencarian diri (self) yang ditandai
oleh afiliasi terhadap teman-teman dekat, pembentukan kelompok-kelompok,
pembentukan nilai-nilai dan cita-cita yang tinggi, pembentukan kepribadian dan
pencapaian status sebagai orang dewasa lengkap dengan segala tantangan dan
tanggung jawabnya.
Sedangkan
Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang
utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam segala aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Karakteristik Remaja
Perubahan pada
remaja dimulai dengan adanya percepatan pertumbuhan fisik yang diikuti
kematangan biologis yang sering dikenal dengan istilah pubertas, yaitu mulai
berfungsinya organ-organ reproduksi baik untuk anak laki-laki maupun anak
perempuan dan mulai tumbuhnya alat kelamin sekunder. Pada anak perempuan
periode ini umumnya terjadi antara umur 11 – 15 tahun dan pada anak laki-laki
terjadi pada umur 12 – 16 tahun (Monks, dkk, 1988). Istilah pubertas lebih
mengarah ke pengertian kematangan biologis, sedangkan istilah remaja
menunjukkan pengertian yang lebih luas karena menyangkut perkembangan segala
aspek, biologis, psikologis dan sosial. Menurut Monks, dkk (1988) secara global
masa remaja berlangsung antara umur 12 – 21 tahun. Namun rentang waktu di sini
tidak berlaku secara mutlak.
Kematangan biologis pada anak perempuan ditandai dengan
permulaan haid (menarchee) dan pelepasan
air mani (ejaculatio) pada anak laki-laki, serta tumbuhnya kelamin sekunder
yang merupakan tanda-tanda khas laki-laki dan perempuan : misalnya, tumbuhnya
kumis, jambang, membesarnya payudara, perubahan pada suara, dsb. Secara fisik
laki-laki terjadi pertumbuhan urat daging yang pesat dan pada perempuan terjadi pertumbuhan pada jaringan
pengikat/lemak di bawah kulit yang lebih menonjol. Akibat dari
perubahan-perubahan tersebut secara fisik membuat laki-laki dan perempuan
nampak berbeda.
Perubahan
yang terjadi secara fisik berpengaruh pada segi psiko sosial remaja. Percepatan
pertumbuhan membuat remaja secara fisik kelihatan seperti orang dewasa sehingga
lingkungan sering menuntut berperilaku dewasa pula. Hal ini tentunya sulit
untuk dipenuhi karena secara psikologis mereka dapat dikatakan belum matang. Di
sisi lain mereka tidak mau dianggap dan diperlakukan seperti anak kecil lagi.
Ketidakpahaman akan perkembangan remaja inilah yang seringkali menimbulkan
ketegangan dalam hubungan antara remaja dengan lingkungannya.
Remaja
dan Masalah Kesehatan Reproduksi
Perubahan fisik remaja ditandai dengan
percepatan pertumbuhan dan kematangan biologis juga disertai dengan
perkembangan psikologis dan sosial. Pada aspek kehidupan sosial remaja terdapat
fenomena yang sangat penting yaitu munculnya dua macam ‘gerak’ yaitu menjauhi
orang tua dan mendekati teman sebaya.
Serta mulai tumbuhnya ketertarikan pada lawan jenisnya serta
meningkatnya dorongan seksual yang sulit untuk mereka pahami.
Remaja bergerak menjauhi orang tua bukan
semata-mata untuk melepaskan diri dari dominasi orang tua namun dalam rangka
mengembangkan identitas diri mereka. Masalah yang sering muncul apabila remaja
terlalu larut dalam pergaulan kelompoknya padahal norma yang berlaku dalam kelompok
tersebut berlawanan dengan norma yang berlaku dalam keluarga maupun
masyarakatnya.
Apabila melihat batasan yang dikemukakan
oleh sebagian besar ahli psikologi, yang menyatakan rentang masa remaja dimulai
umur 12 tahun sampai dengan umur 21 tahun, maka mahasiswa sebagian besar berada
pada tahap perkembangan remaja akhir atau bahkan sudah melampaui masa remaja
dan menginjak masa dewasa muda, demikian pula secara fisik dan biologis sudah
berkembang sempurna, namun kebanyakan masih tergantung pada orang tua sehingga
dalam banyak hal belum mampu untuk mengambil keputusan bagi hidupnya. Menurut
Mitchell (dalam Shelton, 1988) menyatakan bahwa salah satu hal penting dalam
perkembangan remaja akhir adalah adanya kebutuhan akan intimitas yang semakin
mendesak. Interaksi psikologis seperti memeluk, mencium, mencumbu dan bersenggama merupakan
manifestasi dari kebutuhan ini. Hal ini sesuai dengan data dari remaja yang
melakukan konseling di PKBI Yogyakarta selama tahun 2001 menunjukkan bahwa
masalah pacaran menduduki peringkat pertama yang dikeluhkan oleh remaja,
peringkat kedua adalah masalah seks.
Masalah-masalah yang dihadapai remaja
tentunya bervariasi menurut waktu dan tempat. Semakin moderen suatu masyarakat
biasanya akan semakin kompleks kriteria yang dituntut untuk dikatakan sebagai
‘dewasa’ dalam arti benar-benar mandiri. Adanya jarak yang cukup jauh antara
kematangan biologis seseorang dengan kesiapan untuk menikah banyak menimbulkan
masalah dalam pemenuhan kebutuhan seksual.
Penelitian PKBI pada tahun 1994 di tiga
propinsi menunjukkan bahwa 18,2% dari remaja yang diteliti telah aktif secara
seksual sejak rentang usia 15 – 18 tahun. Dari angka tersebut hanya 19%
diantaranya yang memiliki satu pasangan, sedangkan sisanya melakukan hubungan
seksual dengan lebih dari satu orang. Sedangkan dari remaja yang tidak aktif
secara seksual, 47% diantaranya sering melakukan masturbasi dan 20% lainnya
melakukan pacaran dengan petting (Dian Rosdiana, dalam Tanpa nama, 1998).
Sedangkan
hasil penelitian Pusat Penelitian Kependuidukan Universitas Gajah Mada,
mengenai perilaku seks remaja di Bali, menunjukkan bahwa pada tahun 1989 19,3 %
dari 325 responden setuju hubungan seks pra nikah, 43,2 % setuju HUS pra nikah
bila setuju menikah. Akibat
dari semakin permisifnya perilaku seksual di kalangan remaja antara lain :
meningkatnya angka kehamilan tidak dikehendaki, meningkatnya angka aborsi,
meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan dalam
pacaran, banyaknya perkawinan yang dibangun di atas landasan yang sangat rapuh
karena dilakukan secara terpaksa, makin tingginya resiko penularan penyakit
menular seksual, dsb.
Pada
tahun 1996 9,3 % dari 150 responden setuju HUS pra nikah, dan 60,7 % setuju HUS
pra nikah bila setuju menikah. Laporan Kompas (14/4/02) juga menunjukkan 40
dari 234 atau sekitar 17 % remaja Palembang telah melakukan HUS pra nikah. Data dari Mitra Citra Remaja PKBI Bandung
menyebutkan terdapat 78 kasus KTD (kehamilan tak dikehendaki) dari 380 kasus
konsultasi seks yang ditangani tahu 2001. PKBI Yogyakarta juga mencatat 772
kasus kehamilan tak diinginkan pada tahun 2001. penelitian Sutjipto dari
fakultas Psikologi UGM tahun 1990 melaporkan, sekitar 90 % remaja Bali pernah
melakukan HUS pra nikah. Majalah Editor dalam polingnya menggambarkan sekitar
40 % pelajar SLTA di Jakarta pernah melakukan praktek tersebut. Penelitian
Undip bekerja sama dengan Departemen Kesehatan Jateng menyebutkan 10 % dari
600.000 siswa SMU (artinya: 60.000 siswa) di Jateng pada tahun 1995 pernah
melakukan HUS pra nikah.
Selain karena faktor perkembangan remaja
sendiri, agaknya globalisasi di bidang informasi yang dalam hal ini dapat
diakses sampai ke pelosok desa melalui media cetak maupun perangkat elektronik
sangat besar pengaruhnya dalam mempengaruhi terbentuknya nilai-nilai baru bagi
remaja baik di desa maupun di kota. Sementara itu upaya untuk memberikan informasi
yang tepat dan bertanggung jawab tentang masalah seksual ini masih sangat
kurang, hal ini terbukti dari berbagai penelitian bahwa pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi masih sangat rendah.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh
IRRMA di 5 Propinsi di Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Lampung
dan Bengkulu) terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku seksual remaja tahun
2003 misalnya, dari 1,450 remaja yang
menjadi responden, sebanyak 78,95% remaja tidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual.
Dampak dari rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual
menjadi sangat luar biasa terhadap sikap dan perilaku seksual mereka,
dibandingkan dengan remaja yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang
kesehatan reproduksi dan seksual.
Dari 1,450 responden, sebanyak
22,36% pernah melakukan hubungan seksual
sejak usia 16 tahun untuk remaja perempuan dan 17 tahun untuk remaja laki-laki.
Dari remaja yang telah aktif melakukan hubungan seksual, sebanyak 19,70%
melakukannya dengan pelacur dan 79,30%
dengan pacar. Sebagian besar ( 86,87%) dari mereka yang telah melakukan seksual
aktif tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang kesehatan reproduksi,
sedangkan selebihnya, pengetahuannya hanya sepotong-sepotong yang mereka
peroleh dari teman atau melalui media.
Dari data yang sama,
teridentifikasi bahwa 18,55% dari
responden yang telah aktif melakukan hubungan seksual pernah mengalami
keluhan kesehatan reproduksin ( sakit
dan berdarah pada saat buang air kecil). Survey lanjutan yang dilakukan oleh
PKBI Jambi pada tahun 2004 terhadap 174 pasangan muda yang telah menikah,
terungkap bahwa 68,54% yang menjadi responden menyatakan telah melakukan
hubungan seks sebelum mereka resmi menjadi suami-isteri. (IRRMA 2004)
Satu yang menarik dan perlu
mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak adalah alasan mereka melakukan
hubungan seksual. Sebanyak 67,5 % dari mereka miliki alasan coba-coba karena
terangsang setelah menonton film porno, 22,5% beralasan suka sama suka, dan selebihnya 10% karena di
paksa oleh pacar. Ironisnya, ketika ditanyakan apakah tidak takut hamil saat
melakukan hubungan seksual ? Sebanyak
64,5% berpendapat tidak akan hamil jika
melakukan hubungan seksualnya hanya sekali. Sementara, sebanyak 15,8 %
menyatakan untuk menghindari kehamilan segera minum jamu atau minum sprit dan segara mencuci alat
kelamin dengan anti septic setelah melakukan hubungan seksual, sedangkan 19,8%
menyatakan tidak takut hamil, karena pacar akan bertanggungjawab. (IRRMA, 2004)
Selain rendahnya pengetahuan
tentang kehamilan, pengetahuan remaja tentang penyakit hubungan seksual dan
HIV/AIDS juga umumnya rendah. Dari 1,450 responden hanya 21,7 % yang memiliki
pengetahuan memadai tentang Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS, sementara
sebanyak 78,3% tidak memiliki pengetahuan yang cukup, bahkan cenderung
membahayakan kesehatan reproduksi. Hal ini disebabkan, keyakinan mereka bahwa
melakukan hubungan seks dengan perempuan atau laki-laki yang berpenampilan
bersih dan melakukannya dengan pacar tidak mungkin akan terinfeksi penyakit
kelamin dan HIV/AIDS. Mereka juga beranggapan
bahwa minum obat antibiotika sebelum atau sesudah melakukan hubungan
seks, atau segera mencuci alat kelamin setelah berhubungan seks dengan pelacur
akan terhindar dari penyakit kelamin dan HIV/AIDS.
Hasil survey IRRMA di atas juga
tidak jauh berbeda dengan hasil-hasil
penelitian dari berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah remaja yang telah aktif
melakukan hubungan seksual diperkirakan rata-rata mencapai 28,8%. Peningkatan remaja yang telah
melakukan hubungan seksual aktif inilah yang memberikan kontribusi terhadap
peningkatan unwanted pregnancy yang
diperkirakan sekitar 1,5 juta per tahun, unsafe abortion mencapai 300,000 orang
per tahun dan peningkatan kasus IMS, HIV/AIDS diperkirakan 75,000 - 150,000 per
tahun. Lagi-lagi dari hasil penelitian inipun, terungkap pengetahuan mereka
tentang kesehatan reproduksi dan seksual umumnya sangat buruk.
Sedangkan data kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dilaporkan di Rifka Annisa menunjukan angka yang tingi
pada kasus kekerasan dalam pacaran, yaitu tertinggi setelah kekerasan terhadap
istri.
Dok. Rifka Annisa 2007
Kenyatan ini sangat memprihatinkan
mengingat kenyataan bahwa jumlah remaja di Indonesia yang berusia 12- 24 tahun
mencapai 28% dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia. Namun, sebagian besar dari mereka menghadapi berbagai masalah yang
sangat kompleks berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksualnya. Setiap
hari, mereka harus menjalani kehidupan reproduksinya dengan penuh resiko; mulai
resiko kehamilan yang tidak direncanakan (KTD), eksploitasi dan kekerasan
seksual, penyakit hubungan seksual (IMS) sampai resiko terinfensi HIV/AIDS.
Apa yang
Harus Segera Dilakukan?
Tidak dapat disangkal,
terjadinya berbagai peningkatan kasus KTD, aborsi, IMS dan HIV/AIDS dikalangan
remaja, disebabkan karena kesehatan reproduksi remaja di Indonesia sampai saat
ini belum mendapat perhatian yang optimal dari orang tua, tokoh agama dan
pemerintah. Remaja baik di kota maupun desa masih mengalami kesulitan untuk
mendapatkan akses informasi, pendidikan dan pelayanan berkaitan dengan
Kesehatan Reproduksinya. Sementara,
disisi lain perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai informasi
pornografi mudah diakses oleh remaja, sehingga mendorong remaja untuk melakukan
hubungan seks bebas.
Padahal, menurut
WHO remaja perempuan yang melakukan
hubungan seks pada usia muda beresiko 10 kali lebih tinggi untuk terinfeksi
kanker leher rahim, dan beresiko 2 kali lebih tinggi untuk terinfeksi STDs dan
HIV/AIDS bila pasangannya sudah terinfeksi STDs sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk
meningkatkan pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi dan seksual,
sehingga remaja mampu membuat keputusan terhadap kebutuhan dan hak-hak
reproduksinya secara sehat, aman dan bertanggungjawab, diperlukan
langkah-langkah taktis dan strategis melalui pendekatan yang komprehensif dan
berkelanjutan. Berkaitan dengan membuka
akses informasi, pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja
diperlukan dukungan dari berbagai pihak, seperti; orang tua dan tokoh agama dan
perhatian serta keseriusan dari pemerintah di semua level. Pembagian peran dan
tanggung jawab berkaitan dengan membuka akses dan pelayanan terhadap remaja
agar mereka dapat menjalani hak-hak kesehatan reproduksinya secara
bertanggungjawab, dapat dilakukan sebagai berikut :
1)
Keluarga dan masyarakat harus mulai membuka
diri terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual. Sikap keluarga dan masyarakat
yang selama ini apriori dan ketakutan, jika remaja mendapat pendidikan
kesehatan reproduksi dan seksualitas akan semakin mendorong mereka melakukan
seks bebas harus dihilangkan. Sebab, dari banyak penilitian dan pengalaman
berbagai pihak yang secara intensif memberikan informasi dan pendidikan
kesehatan reproduksi dan seksual kepada remaja secara benar, mampu merubah
perilaku seksual remaja untuk semakin bertanggungjawab. Penelitian dan
pengalaman banyak pihak, mentabukan pendidikan seks di keluarga dan masyarakat
semakin tidak dapat menyelesaikan masalah. Sebab, semakin pendidikan seks di
tabukan, semakin mendorong remaja untuk ’ingin tahu dan ingin mencoba’. Sebab,
faktanya remaja semakin mudah mendapatkan akses seksualitas yang menyesatkan
melalui berbagai media electronik ( lihat di internal, puluhan jenis situs
pornografi yang menyajikan rangsangan seksual remaja dapat dengan mudah diakses
oleh remaja).
2)
Pemerintah di semua level, harus menempatkan
isu-isu kesehatan reproduksi remaja menjadi prioritas utama dalam penyusunan
kebijakan. Kebijakan yang dihasilkan harus dapat memastikan remaja memperoleh
hak-hak kesehatan reproduksinya.
3)
Media Massa harus ikut bertanggung jawab dalam
memberikan informasi dan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual bagi
remaja bukan malah membuat posisi remaja semakin sulit dalam menjalani hak-hak
kesehatan reproduksinya akibat banyaknya informasi yang menyesatkan.
4)
Membuka ruang dan akses bagi remaja untuk
berpartisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan menyangkut kebutuhan
remaja akan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya. Banyak program
pemberdayaan remaja yang dilakukan selama ini tidak direspon secara positif
oleh remaja, karena remaja tidak dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan
menyangkut kebutuhannya.
Pustaka:
·
Muthi’atus Sholihah,
“Remaja dan Masalahnya”, makalah tidak dipublikasikan, Yogyakarta 2006.
·
Hambali, Potret Buram
Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia, makalah disampiakan dalam seminar
nasional, Marginalisasi Kesehatan Reproduksi di Indonesia, oleh IRRMA, Surabaya,
2004
·
Annual Repaort Data Kasus Rifka Annisa 2006.