Senin, 28 November 2011

Ulama dan Godaan Politik-Kekuasaan


ULAMA DAN GODAAN POLITIK KEKUASAAN
Judul Buku : Manuver Politik Ulama; Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama-Negara
Penulis : Komarudin Hidayat dan M. Yudhie Haryono
Penerbit : Jalasutra
Edisi : 2004
Tebal : xxiv + 132 hlm
Peresensi : Abdul Rokhim Karim, SH.i (Peminat Buku, Tinggal di Kediri)

Islam menjadi dinamika yang khas dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Kiprahnya menjadi  bagian  yang  senantiasa mewarnai dalam setip perhelatan. Walaupun dalam sepanjang sejarah Indonesia, (politik) Islam (hampir) tidak pernah memegang posisi pemenang. Alih-alih justru membawa ekses negatif di tubuh internal mereka.
Salah satunya adalah  keterlibatan Ulama. Ditinjau dari sisi tujuan, masuknya ulama kekancah politik merupakan sebuah pilihan mulia. Namun dalam realitasnya, dengan sangat kejam namun cantik, politik telah membangun demam popularitas dan menenggelamkan ulama dan umat dalam kemenangan semu.
Dari masa kemasa, tampilan islam lebih didominasi oleh “wajah haus” kekuasaan. Namun wajah ini terbungkus dalam rona kemiskinan; miskin jabatan, kekuasaan, serta kesempatan. Sehingga merupakan hal wajar manakala potret buram politik ikut hadir untuk mewarnai dinding-dinding galeri politik.

Jika melihat pada peran esensialnya, ulama memang penerus risalah kenabian. Interpretasi tugas ini kemudian diimplementasikan pada urusan domestic pesantren asuhannya. Namun seiring perubahan zaman, banyak yang kemudian menafsirkannya lebih luas lagi, termasuk memasuki kancah politik kekuasaan. Inilah yang kemudian menjadikan ulama selebriti politik  yang diperebutkan fans-fansnya. Posisi ulama sebagai “pemilik umat” dijadikan jembatan alternatif dalam pemenangan pertarungan para elit politik.
Masuknya ulama kekancah politik kekuasaan karena memiliki modal restu,simpatik dan kharismatik. Selain itu kultus sebagi orang suci menambah daya pikat mereka. Kemudian mereka “menegara” dan mendudukkan diri sebagai bagian yang signifikan untuk menempatkan diri sebagai aktor pemilik tiket guna melenggang kekuasaan Negara.
Bahasa-bahasa ketundukan, kepasrahan, keharaman yang masih  melekat  erat dalam benak masyarakat/umat terhadap pemimpinnya dijadikan modal bergaining untuk mendapatkan posisipolitik dan money politik. Harapan akan ketentraman serta kedamaian yang ada pada masyarakat yang biasanya terjawabkan dengan kehadiran figur seorang ulam menjadi “pemikat” ampuh yang terkadang disalah gunakan politisi busuk untuk lebih menyeret ulama kedalam gerbong politik.
Bukan hanya sekedar itu, ormas-ormas islam pun juga turut meramaikan lajur politik. Nahdlotul Ulama (NU) misalnya, walaupun bukan partai politik, kedudukan dan posisi ummat NU menjadi sangat penting untuk diperebutkan dalam konstelasi politik. Jutaan massa dengan tingkat kohesifitas yang tinggi, menjadikan NU dan ormas-ormas islam hanya sebagai “pecundang” atau umpan dalam pensuksesan agenda partai.
Dengan masuknya ulama dalam percaturan politik ini menjadikan keresahan tersendiri bagi pemerhati islam. Dan dalam puncak keresahan tersebut buku “manuver politik ulama”  ini merupakan bentuk ekspresi kegalauan Komarudin Hidayat dan M. Yudhie Haryono.  Kedua penulis ini mencoba mendobrak untuk memberikan sedikit pencerahan dalam dalam tubuh islam. Kedua penulis ini mempertanyakan kembali posisi dari agama (Islam) dan Negara serta bagaimana seharusnya kiprah ulama dalam relasi agama dan Negara. Buku ini berangkat dari tiga farian penting yaitu; Pertama, makna agama dan bagaimana posisi ulama.  Kedua, dimana peran umat. Ketiga, reposisi makna dan fungsi negara-negara.
Buku ini menggunakan metodologi deskriptif analitik sehingga mempermudah memberikan warna baru  talam memahami fenomena yang ada. Dengan kepiawaiannya, kedua penulis ini membuka tabir kemerosotan moral pemimpin umat dalam meyalurkan hasrat dan gejolak keinginannya dalam dunia perpolitikan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa demoralisasi ulama sebagai Penuntun umat menjadi tidak terelakkan lagi. Hal ini tidak lain karena sampai saat ini para ulama betul-betul menempatkan kharisma dan dukungan umatnya dalam melakukan bergaining politik dengan berbagai cara. Para ulama mengontrol, menjanjikan, bahkan menghukum (lewat fatwa haram dan murtad) umatnya agar mendukung kiprah politik diriny.  Dengan segala modal dan dan kesempatan yang dimilikinya, para ulama kemudian meyakinkan partner politiknya untuk selalu bersama  mengayun perjuangan politik. Posisinya sebagai culture brooker  dan penggembala umat yang dimitoskan secara signifikan telah menjadikan mereka sebagai pilihan rasional oleh media, diyakinkan oleh pengamat dan didesain oleh tim sukses kampanye (hlm. 2)
Sampai pada tingkatan ini terlihat bahwa kharisma ulama merosot menjadi barang murah yang diangankan mampu menarik taraf hidup umat dengan melamar menjadi pejabat publik. Karena kesalahan interpretasi dari pesan revolusioner menjadikan pesan tanpa ada gagasan. Kecenderungan untuk menjadi reaktif,akomodatif dan kompromis kemudian menenggelamkan kekuatan kritis dan nalar oposisional dari Islam (hlm.xix)
Menurut penulis, terdapat dua hal yang perlu dicermati dengan makin maraknya gerbong ulama yang bermetamorfosis menjadi politisi. Pertama, jagad keulamaan bangsa ini akan mengalami deposit moral. Dengan kata lain, Islam akan kehilangan manusia independent yang mendudukkan dirinya pada posisi tengah anara rakyat dan pemerintah. Kedua,  posisi politik ternyata lebih menggiurkan. Para ulama merasa dengan berpolitik mereka akan ikut secara mudah memperjuangkan idealitas dan moralitas, namun kenyataanya mereka kehilangan watak kebajikan civilitasnya, kehilangan kharisma dan otoritas moral  sehingga tenggelam dalam langgam kehancuran civilitas yang melelapkan. Semestinya ulama menjaga jarak dari struktur kekuasaan, dan bukan memamahnya mentah-mentah. Tugas seorang ulama dan intelektual agama tak lain dan takbukan adalah terus menerus melakukan oposisi dengan melakukan kritik  terhadap apa-apa yang dianggap perlu dikritik. Dengan demikian suasana serasi dan seimbang akan berjalan yang pada akhirnya menumbuhkan   ketentraman dan kedamaian pada masyarakat.
Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini menarik dibaca sebagai bahan  bacaan untuk membuka cakrawala wawasan umat islam dalam melaksanakan dakwah yang di embannya.//

Tidak ada komentar:

Posting Komentar